Ketika Agama Melahirkan Akhlak

إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد خير قلوب العباد
‘Sesungguhnya Allah melihat hati seluruh manusia, ternyata hatinya Muhammad adalah sebaik – baik hati’
Pada paparan beberapa artikel telah menciptakan gelombang emosi di media Indonesia dengan mengangkat isu krisis moral. Para akademisi dan guru khususnya merasa tersentil karena isu ini seringkali dikaitkan dengan dunia pendidikan, di mana problematika moralitas kontemporer kerap terjadi di latar belakang sekolah.
Dilansir dari Tribunnews.com, salah satu contoh nyata dari krisis moral ini terjadi pada seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di salah satu kota di pulau jawa, pada bulan Februari 2023. Siswa tersebut diabadikan membentak gurunya, menciptakan kehebohan di dunia pendidikan. Kejadian serupa terulang pada bulan Juli 2023, di mana seorang murid Sekolah Dasar (SD) dengan marah memaki gurunya sendiri. Yang mengejutkan, gurunya justru mengharap maaf, yang terjadi juga di salah satu kota di pulau sumatera.
Namun, krisis moral ini tidak hanya merambah ke lingkungan sekolah, tetapi juga menyerang unit utama dalam pembentukan karakter anak, yaitu rumah sebagai sekolah pertama. Pandangan secara umum, perilaku semacam ini muncul karena kurangnya tindakan tegas dari pihak pendidik (guru) maupun orang tua-terhadap tingkah laku anak yang tidak terpuji, yang pada akhirnya dianggap sebagai pembenaran terhadap karakter tersebut. Naasnya, kebiasaan dari tingkah laku tersebut meresap ke dalam tubuh sehingga menjelma menjadi sebuah karakter yang memunculkan spontanitas sifat buruk.
Untuk mengatasi krisis moral ini, penulis ingin menggarisbawahi bahwa dengan menelaah kepribadian para sahabat Nabi Muhammad SAW sebagai penerus kebenaran yang mutlak yaitu agama Islam adalah sebuah upaya mereduksi problematika tersebut. Bahkan, penyempurnaan akhlak mulia adalah misi diutusnya Rasulullah kepada seluruh ciptaan.
Kembali ke zaman kenabian, para sahabat sangat mengutamakan akhlak dalam menuntut ilmu. Mari meneladani, Abdullah bin Mas’ud, salah satu sahabat Nabi yang termasuk assabiquna al awwalun, yaitu orang-orang pertama yang memeluk agama Islam, dijuluki sebagai sahabat sandal Nabi Muhammad SAW, sebuah tindakan yang mencerminkan pengabdian dan penghormatan kepada guru mereka, baginda Nabi.
Memahami makna dari julukan tersebut, sandal bukanlah hal mewah atau bahkan mahal, tetapi tindakan tersebut memiliki interpretasi yang mendalam. Bertahun-tahun menjadi pelayan seorang utusan Tuhan, Abdullah bin Mas’ud memiliki akhlak dan watak seperti Rasulullah SAW, berakhlak mulia, berbudi tinggi, dan berpengetahuan luas. Selain sahabat sandal Nabi, beliau juga diakui sebagai sahabat yang tahu rahasia-rahasia Rasulullah. Bahkan karena kedekatannya yang istimewa dengan Rasulullah beliau juga terkenal sebagai sosok yang memiliki wawasan mendalam terhadap sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an. Tidak hanya beliau, tata kelakuan para sahabat Nabi selalu mencerminkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat mutlak. Semakin kita merenung pada masa tersebut, semakin jelas terlihat betapa pentingnya nilai-nilai moral dan spiritual yang dilahirkan oleh ajaran islam.
Di sisi lain, penulis ingin mengajak pembaca untuk mengulas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang mengartikan seorang wanita berpuasa dan menunaikan sholat malam akan tetapi lidahnya tetap menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda tidak ada kebaikan pada dirinya dan dia akan berada di neraka. Hadis ini menegaskan bahwa Tuhan tidak membutuhkan ibadah seorang hamba jika tidak mencegahnya dari perbuatan buruk. Kemudian kalam Rasul tidak hanya diam tanpa solusi, tetapi memberi pilihan praktis, yakni seseorang dapat memilih untuk berbicara dengan kata-kata yang baik, atau tidak perlu berbicara sama sekali.
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan menikmati kisah di atas, aspirasinya adalah setiap hamba dapat meresapi nilai-nilai yang telah diajarkan Islam agar dapat menciptakan dampak positif terhadap dunia pendidikan. Dan untuk menuju hasil yang efisien dibutuhkan edukasi yang mendalam, pemahaman secara menyeluruh, dan keberanian untuk merealisasikan nilai-nilai yang diajarkan. Hal ini akan memungkinkan esensi ajaran tersebut menyatu dalam dimensi jiwa dan raga setiap ciptaan Tuhan. Karena agama sangat berpengaruh pada cara seseorang memandang dunia, nilai-nilai yang dianut, dan etika yang mengarahkan tindakan sehari-hari. Meskipun perlu diakui bahwa secara alamiah, sifat manusia tidak selalu baik atau selalu buruk. Namun, logika seperti ini tidak boleh dijadikan landasan untuk melakukan tindakan abnormal.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai ajaran Islam sangat penting untuk dikaji guna mengatasi krisis moral di tengah masyarakat modern yang semakin bervariasi. Selain itu, pendidik harus memberikan tindakan tegas dan respons yang tepat terhadap problematika moralitas yang tengah memanas. Tidak hanya menuntut anak didik untuk meneladani para sahabat, seorang pendidik sebaiknya lebih dahulu meniru Rasulullah sebagai suri teladan, guna memberikan esensi pengajaran yang sempurna. Pada akhirnya manusia dapat memancarkan energi positif, dan berhasil menciptakan masyarakat yang damai dan penuh adil. Wallahu a’lam.
Referensi:
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, DAr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2021.
